Hidup sederhana. Kondisi itu semakin jarang kita
jumpai di masa ini. Hidup mewah, glamour, berfoya-foya, dan cenderung menikmati
kesenangan dunia secara berlebihan, lebih banyak kita saksikan tidak hanya di
kalangan masyarakat umum saja, bahkan pada golongan orang yang mengaku
mengikuti sunnah. Bermegah-megahan dalam mendirikan bangunan, berlebih-lebihan
dalam makanan, ingin terlihat “wah”
dalam penampilan, seakan sudah biasa bahkan merupakan kebanggaan. Padahal, bila
kita membuka Al Qur’an dari belakang saja, akan langsung kita dapati celaan
Allah bagi orang-orang yang gemar bermegah-megahan. Allah berfirman:
الهكم التكثر. حتى زرتم المقابر. كلا سوف تعلمون. ثم
كلا سوف تعلمون. كلا لو تعلمون علم اليقين. لترون الجحيم. ثم لترونها عين اليقين.
ثم لتسالن يومءذ عن النعيم
“Bermegah
megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah
begitu, kelak kamu akan mengetahui. Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah
begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin. Niscaya kamu akan
benar-benar melihat neraka Jahim. Dan sesungguhnya kamu akan benar-benar
melihatna dengan ‘ainul yakin. Kemudian kamu pasti akan ditanya pada hari itu
tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)
Jadi buat apa bangga dengan kemegahan dan
kemewahan?
Sederhanalah!
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum adalah orang-orang yang memilih hidup sederhana, bahkan jauh di
bawah standar hidup sederhana, padahal mereka diberi kunci-kunci dunia. Dalam
sebuah hadits riwayat Bukhari Muslim disebutkan, "Bahwa suatu hari Umar
radhiyallahu ‘anhu pernah menemui Nabi shalallahu alaihi wa sallam. Saat itu
beliau sedang berbaring di atas tikar kasar yang terbuat dari pelepah kurma, dengan
berbantalkan kulit kasar yang berisi serabut ijuk kurma. Melihat keadaan Nabi
yang seperti itu Umar pun menangis. Kemudian Nabi shalalllahu ‘alaihi wa sallam
bertanya: “Mengapa engkau menangis?” Umar menjawab: "Bagaimana aku tidak
menangis. tikar ini membekas pada tubuhmu. Engkau adalah Rasulullah, utusan
Allah. kekayaanmu hanya seperti ini, sedangkan Kisra dan raja lainnya hidup
bergelimangkan kemewahan. Maka Nabi menjawab, "Apakah engkau tidak rela
jika kemewahan itu untuk mereka di dunia dan untuk kita di akhirat nanti?"
Begitulah Rasulullah, pribadi yang telah Allah
tunjuk sebagai teladan kaum muslimin yang menginginkan keridhoan Allah dan
mengimani hari akhir, memilih kehidupan yang sangat sederhana di dunia ini,
perwujudan dari sabda beliau: كن في الدنيا كانك غريب
او عابر السبيل
“Jadilah
engkau di dunia ini seperti orang yang asing atau seorang musafir”
Maka, adakah kita pernah membaca kisah tentang
kemegahan rumah beliau? Lihatlah bagaimana sahabat menggambarkan keadaan rumah beliau. Dalam kitab Shahih Adabul Mufrod karya Imam
Bukhari disebutkan bahwa Daud Bin Qais berkata, "Saya melihat kamar
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, atapnya terbuat dari pelepah kurma
yang terbalut dengan serabut. Saya perkirakan lebar rumah ini, kira kira 6 atau
7 hasta, saya mengukur luas rumah dari dalam 10 hasta, dan saya kira tingginya
antara 7 dan 8. Saya berdiri di pintu Aisyah saya dapati kamar ini menghadap
Maghrib (Marocco)” (Bila satu hasta adalah 0,45 meter, maka dapat dibayangkan
sebesar apa rumah beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam ). Belum lagi bila kita
membaca tentang isi rumah beliau, akan terenyuhlah hati kita akan kesederhanaan
beliau, bagaimana seorang yang paling dicintai oleh Pemilik dan Pencipta alam
semesta ini memilih kesederhanaan, bahkan kekurangan di dunia, memilih menjadi
Rasul dan hamba ketimbang menjadi Rasul sekaligus raja. Maka tidakkah kita malu
mengaku sebagai pengikutnya, bila kita masih dipusingkan ketika memilih keramik
untuk lantai rumah kita, gonta-ganti perabot hanya karena bosan, atau sibuk
memilih wallpaper yang sebenarnya tidak perlu?
Lihatlah bagaimana shahabat pun sederhana dalam
tempat tinggal mereka! Dikisahkan bahwa ketika Salman Al Farisi hendak
membangun rumah, ia bertanya kepada pekerjanya, bagaimanakan ia akan membuat
rumah? Pekerjanya adalah orang yang cerdas dan memahami kezuhudan salman, maka
ia menjawab: “ Saya akan membuat rumah yang melindungimu dari panas,
menghangatkanmu dari kedinginan, apabila engkau berdiri, kepalamu mengenai
atapnya, dan bila engkau tidur, kakimu menyentuh dindingnya”, maka Salman
berkata: “Bangunlah seperti itu.”
Demikian pula dalam hal makanan. Dimanakah
termaktub kisah bahwa Rasulullah gemar menikmati beraneka ragam makanan? Tidak
ada, bukan? Sebaliknya, terlalu sering kita mendengar dan membaca hadist yang
mengisahkan bahwa dapur Rasulullah tidak mengepulkan asap selama 3 bulan
berturut-turut sehingga beliau dan
keluarga beliau hanya makan kurma dan air putih, akan tetapi, mengapa masih
terkunci hati kita untuk meneladani beliau sehingga kita masih pusing
memikirkan makanan apa yang akan disantap hari ini, atau restoran mana yang
akan dicoba pada akhir pekan nanti..
Lihatlah bagaimana sahabat meneladani beliau dalam
hal makanan bahkan setelah beliau meninggal dunia. Dikisahkan bahwa suatu hari
seorang teman Ibnu Umar menghadiahinya bejana yang penuh isinya, maka
bertanyalah Ibnu Umar : “Apakah ini?” temannya
menjawab: “ ini adalah obat yang sangat bagus, saya bawa dari Iraq” maka
Ibnu Umar bertanya lagi: “ Untuk mengobati apa?” Temannya menjawab: “obat agar
makanan menjadi mudah dicerna”. Maka Ibnu Umar pun tersenyum dan berkata: “ Sesungguhnya
aku tidak pernah kenyang sama sekali selama 40 tahun ini”. Bila ditanya
mengapa, beliau menjawab, karena takut apabila dikatakan kepadanya pada hari kiamat
nanti:
أَذْهَبتم طيّباتكم في حياتكم الدنيا واستمتعتم بها
“Kamu
telah menghabiskan rezekimu dalam kehidupan duniamu dan kamu telah
bersenang-senang dengannya..” (Al Ahqaf:20)
Jadi, untuk
apa masih bermewah-mewah dan bermegah-megahan?
Sederhanalah, karena sederhana lebih dekat pada
sifat Rasulullah dan para sahabat!
Sederhanalah, karena kesederhanaan itu melahirkan
keteladanan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar