Cukuplah Allah Sebagai Saksi

We Share Because We care

Saat itu malam telah larut, para penduduk Madinah telah tertidur dengan lelapnya. Tak ada yang mengetahui, seorang laki-laki memanggul bahan makanan, berkeliling dari rumah ke rumah para fuqoro’ kota Madinah. Memanggul sendiri bahan makanan di pundaknya. Ketika pagi tiba, penduduk Madinah mendapati bahan makanan telah tersedia di depan pintu rumahnya, tanpa tahu siapa yang membawanya untuk mereka. Hal itu berlangsung selama 10 tahun. Akhirnya, ketika Husein bin Ali bin Hasan bin Ali bin Abi thalib (Zainal Abidin) meninggal, penduduk Madinah kehilangan hal tersebut, dan mereka baru mengetahui, siapakah yang telah mengantarkan bahan makanan kepada mereka dengan sembunyi-sembunyi selama 10 tahun, karena ketika mereka memandikan jenazahnya, terlihatlah bekas hitam dan luka bekas panggulan di punggungnya.
◙ ◙ ◙ ◙ ◙ ◙ ◙ ◙ ◙ ◙ ◙ ◙ ◙ ◙ ◙

Mungkin kita telah sering mendengar kisah di atas, atau kisah-kisah semisalnya. Kisah-kisah tentang gambaran keikhlasan yang tulus, tanpa mau tercampur kesyirikan sekecil apa pun. Keikhlasan dari orang-orang yang sangat  mengenal kedudukan RabbNya, menyadari bahwa hanya Ialah Pemilik pahala dan surga, dan menyadari bahwa segala sesuatu yang diberikan oleh  hamba, siapa pun ia, sejatinya tak berharga, sehingga mereka tidak membutuhkan manusia sebagai saksi amal-amal sholih mereka.

Mungkin kita telah sering membaca, bahwa salah satu cara menjaga keikhlasan amal adalah dengan menyembunyikannya, karena keikhlasan ternyata tidak hanya diperlukan sebelum dan saat beramal saja, tetapi juga setelahnya. Basyr bin Al Harits berkata, “Janganlah engkau beramal agar engkau disebut-sebut, sembunyikanlah kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan keburukanmu.”

Mungkin kita telah mengetahui hal itu. Akan tetapi, syeitan memang tak pernah putus asa untuk merusak pahala amalan kita, agar kita tidak sadar bahwa amal sholih yang kita lakukan akhirnya hanya menjadi debu yang beterbangan, sia-sia tanpa berbuah pahala, bahkan sebaliknya berbuah dosa dan siksa. Tidakkah kita ingat hadist Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang tiga orang yang pertama disiksa di neraka? Mereka adalah mujahid, orang kaya yang gemar berinfak, dan penghafal Al Qur’an, tetapi mereka lakukan semua itu hanya karena mencari sanjungan manusia.

Mungkin kita beralasan bukan menginginkan pujian, tapi kita ingin menjadi teladan, agar menginspirasi banyak orang, sehingga kita menampakkan kebaikan kita. Namun, tidak sadarkah kita, bahwa kita sedang membuka celah bagi syeitan untuk menyeret kita ke lembah ujub dan riya’? Banggakah kita bila kita mendapatkan komentar positif atau acungan jempol dari banyak orang? Atau kecewakah kita bila orang-orang seakan tak peduli dengan amal kita? Bila iya, hati-hatilah, mungkin kita telah masuk perangkap syeitan.
Bila kita mau jujur, telah banyak teladan dari pendahulu-pendahulu kita yang lebih hebat dari kita, teladan-teladan yang lebih mengsinspirasi daripada amal kita. Karena itu, biarlah manusia membuka lembaran-lembaran sejarah yang telah terukir dengan tinta emas itu, karena pelakunya telah tiada dan selamat dari ujub dan riya’, sebaliknya tutuplah rapat amal-amal kita, karena tak ada yang menjamin kita selamat dari ujub dan riya’.

Mungkin kita beralasan, kita beramal bukan mencari sanjungan, tapi sekedar pengakuan. Pengakuan dari orang-orang bahwa kita adalah orang yang pintar nan hebat. Tak afdhol rasanya bila orang-orang tak mengetahui amal baik kita. Subhanallah! Betapa banyak orang yang melakukan amalan yang lebih hebat daripada kita, tetapi mereka selalu takut amalan mereka tidak diterima. Allah mengabarkan dalam Al Qur’an:
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ
Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (QS. Al Mu’minun: 60)
Sa’id bin Jubair berkata, “Ada orang yang masuk surga karena perbuatan maksiat dan ada orang yang masuk neraka karena amal kebaikannya”. Ditanyakan kepadanya “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Beliau menjawab, “seseorang melakukan perbuatan maksiat, ia pun senantiasa takut terhadap adzab Allah akibat perbuatan maksiat tersebut, maka ia pun bertemu Allah dan Allah pun mengampuni dosanya karena rasa takutnya itu, sedangkan ada seseorang yang dia beramal kebaikan, ia pun senantiasa bangga terhadap amalnya tersebut, maka ia pun bertemu Allah dalam keadaan demikian, maka Allah pun memasukkannya ke dalam neraka.

            Memang, menjadi orang yang ikhlas sangatlah berat. Bahkan, ulama sekaliber  Sufyan Ats Tsauri pun berkata: “Sesuatu yang paling sulit bagiku untuk aku luruskan adalah niatku, karena begitu seringnya ia berubah-ubah.” Namun, dengan menyembunyikan amal akan membantu kita menjaga keikhlasan.

Memang, menyembunyikan amal juga tak semudah mengatakan atau menuliskannya, tetapi membutuhkan azzam yang kuat dan pembiasaan. Selalu akan ada bisikan syetan untuk mengekspos kebaikan kita dihadapan orang lain. Maka, setiap kita melakukan amal kebaikan, tanamkan dalam hati, bahwa Allah sajalah Pemilik kemuliaan dan balasan. Dan bila bisikan syetan mulai menghampiri, katakan dengan penuh keyakinan di dalam hati: “Cukuplah Allah sebagai saksi!”


Ummu Sholih @Madinatul Qur’an
   




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel Terbaru

Fiqih Muyassar : SUJUD TILAWAH DAN SUJUD SYUKUR

We Share Because We care Ringkasan Materi Kajian Ummahaat dari Kitab Fikih Muyassar Disampaikan oleh Ust. Rizqo, B.A. di Ma’had Madinat...